Kolom

Fintech Syariah dan Keuangan Keluarga Kita

Teknologi ternyata telah memobilisasi banyak perubahan di masyarakat dan ekonomi global. Tidak ketinggalan geliat bisnis teknologi keuangan atau financial technology ( Fintech) telah mengubah sistem keuangan, mulai dari pembayaran, peminjaman, urusan perbankan, manajemen aset, deteksi fraud hingga di tahapan regulasi.

Fintech yang selama ini masuk dalam sistem keuangan konvensional, perlahan-lahan masuk ke sistem keuangan syariah. Melihat perubahan ini, tentu saja nasabah harus lebih banyak mempelajari rambu–rambu syariah di area Fintech, mulai dari akad, syarat, rukun, hukum,administrasi pajak, akuntansi hingga audit.

Dari sisi akad, Fintech tidak bertentangan dengan syariah sepanjang mengikuti prinsip–prinsip sahnya suatu akad, serta memenuhi syarat dan rukun serta hukum yang berlaku. Pada dasarnya Fintech harus merujuk kepada salah satu prinsip muamalah yaitu ‘an taradhin atau asas kerelaan para pihak yang melakukan akad. Asas ini menekankan adanya kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyatakan proses ijab dan qabul (Darsono dkk, 2016).

Syarat yang harus dipenuhi adalah harus ada objek (‘aqid), subjek (mu’qud ‘alaihi) dan keinginan untuk melakukan aqad (sighat) dan rukun yang harus wujud adalah adanya harga/upah serta manfaat. Hukum juga harus mengiringi, misalnya berbentuk undang – undang, fatwa dan sertifikasi halal.

Dalam KUH Perdata, asas kerelaan dinyatakan dalam Pasal 1320, yang menyatakan bahwa: “Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang”

Dalam menjalankan bisnis FinTech, pasal ini juga mengikat. Perkembangan dari sisi hukum syariah dapat dilihat dari dikeluarkannya sertifikasi syariah baru–baru ini oleh Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk “PayTren”. Hal ini merupakan terobosan baru di dunia Fintech Syariah di Indonesia yang diharapkan akan mempercepat pencapaian target PayTren untuk meraup 10 Juta pengguna pada tahun 2021 serta banyak memberi manfaat kepada masyarakat luas. Cepat atau lambat, inovasi ini akan diikuti oleh berbagai jenis bisnis dalam industri digital di Indonesia.

Bidang administrasi pajak, akuntansi dan audit tidak ketinggalan, yang mengikuti kebutuhan era digitalisasi ini. Misalnya dari sisi perpajakan bisnis Fintech syariah ini akan memotong rantai bisnis proses, yang akan berdampak efisiensi pajak dari sisi wajib pajak.

Konsekuensinya adalah pemerintah pada awalnya akan menerima lebih sedikit pendapatan pajak, namun di jangka panjang akan meningkat ketika Fintech makin digemari. Dalam hal audit, peranan audit elektronik (Electronic Data Process) atau EDP akan semakin penting ketika digitalisasi dalam proses bisnis makin dominan. Ke depannya, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah tentu perlu beradaptasi karena perbedaan alur transaksi bisnis FinTech yang salah satunya melibatkan marketplace dalam prosesnya.

Fintech saat ini Beehive di Dubai pada tahun 2014 menyatakan dirinya sebagai Fintech syariah di dunia yang pertama kali mendapatkan sertifikat syariah. Platform yang disediakan adalah pembiayaan murah untuk UMKM yang menggunakan pendekatan “peer-to-peer lending marketplace”.

Pada tahun 2013, Ethiscrowd, sebuah bisnis FinTech di Singapura memulai dengan layanan crowdfunding untuk membiayai proyek perumahan. Bisnis ini berkembang dan melahirkan platform baru, yaitu Kapital Boost yang kemudian memiliki Sertifikat Kepatuhan Syariah dari Financial Shariah Advisory & Consultancy (FSAC) di Singapura pada tahun 2016. Kapitalboost yang dinamakan sebagai “The first Islamic SME Crowdfunding Platform” ini adalah platform crowdfunding dari Singapura yang fokus kepada pendanaan usaha UKM melalui akad Murabahah, sedangkan Ethiscrowd adalah platform crowdfunding syariah yg saat ini khusus untuk pendanaan proyek properti dan infrastruktur dengan akad Mudharabah.

Hubud Bali, pada tahun 2014 menjadi coworking pertama di Indonesia yang menerima Bitcoin (uang elektronik, yang dibuat pertama kali oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2009). Saat ini menurut Investree, sudah ada 90 perusahaan startup, 20 lembaga keuangan dan 7 mitra asosiasi bisnis FinTech di Indonesia. Investree berinovasi dengan mengenalkan Hawalah FinTech (akad pemindahan utang) kepada pengguna dan selanjutnya akan ada Ijarah FinTech (akad sewa) dan Mudharabah FinTech (akad kemitraan).

Peluang atau Ancaman?

Inovasi FinTech tentu saja memberikan dampak, baik positif maupun negatif. Dari sisi peluang, berikut ulasannya: Pertama, meningkatkan literasi keuangan. Menurut survei literasi keuangan OJK, saat ini sekitar 40 persen masyarakat Indonesia belum mempunyai akses langsung ke sektor keuangan termasuk perbankan. Sementara itu, literasi keuangan syariah pada tahun 2016 hanya 8,11 persen dengan indeks inklusinya sebesar 11,6 persen. Tujuan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pemerintah adalah agar 75 persen penduduk Indonesia memiliki akses terhadap produk keuangan di tahun 2019. Dukungan FinTech dan FinTech syariah diharapkan dapat menjadikan lebih banyak lagi keluarga yang melek keuangan.

Kedua, mencapai Pro-Growth dan Pro-Poor. Demirguc-Kunt, Beck dan Honohan (2007) beragumentasi bahwa sektor keuangan itu tidak hanya pro-growth, tapi juga pro-poor. Diharapkan sektor keuangan bukan hanya tumbuh berkembang namun juga ditekankan untuk lebih banyak berpihak kepada keluarga mustad’afiin. yang kurang upaya, baik dari sisi keuangan, jangkauan waktu dan lokasi. Dengan adanya manfaat teknologi dalam bisnis FinTechs syariah, masalah – masalah ini dapat tereduksi sehingga akan terwujud pemerataan ekonomi.

Ketiga, meningkatkan etos kerja keluarga Indonesia. Dari sisi efisiensi, Fintech syariah dapat mengurangi waktu tunggu, lamanya waktu perjalanan yang ditempuh dan durasi transaksi. Sisa waktu yang ada tentu saja dapat digunakan oleh keluarga untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.

Adapun ancaman yang mungkin ditakuti oleh banyak orang saat ini adalah: Pertama, mengurangi kerja manual. Hal ini berindikasi akan meningkatnya jumlah kepala keluarga yang akan kehilangan pekerjaan seperti yang telah dibuktikan oleh survei Linkedln yang mengatakan bahwa 25 persen para profesi keuangan kwatir kehilangan pekerjaan karena banyak bidang yang mengarah ke otomasi (Weissbluth, 2017).

Kedua, keterbukaan informasi dan kejahatan dunia maya. Dengan adanya digitalisasi, semua data anggota keluarga disimpan di dunia maya yang sewaktu – waktu dapat diakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga kejahatan dunia maya, saat ini ada empat jenis CyberCrime yaitu cyberstalking (mengirim email berulang – ulang), carding (mencari detail kartu kredit/debit), hacking dan cracker (menguasai sistem computer), serta cybersquatting (mencuri domain suatu perusahaan) dan typosquatting (menggunakan domain plesetan).

Ketiga, kurangnya interaksi manusia. Karena semua transaksi dilakukan secara digital, maka transaksi menyapa dan silaturrahim dalam berbisnis akan berkurang, interaksi di pasar–pasar tradisional digantikan dengan komunikasi digital. Solusi keluarga Para anggota keluarga yang akan berinteraksi dengan bisnis Fintech baik sebagai pemasok atau mitra maupun pembeli harus memperhatikan banyak aspek syariah mulai sisi akad, syarat, rukun, hukum serta administrasi pajak, akuntansi dan audit.

Semakin banyak manfaat yang dapat dipetik, maka bisnis Fintech ini akan makin diikuti sehingga para keluarga harus dapat memanfaatkan peluang yang ada. Ke depannya tempat silaturrahim yang lebih mulia seperti sholat berjamaah dan majlis ilmu di masjid akan lebih mudah dapat ditingkatkan karena efisiensi waktu keluarga akibat dari FinTech ini. Semoga! Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button